Jumat, 17 Desember 2021

Cerpen "Mohon Bunuh Dia" by Icha

0 komentar
Genre : Misteri, Melodrama


Sore itu angin berhembus tidak terlalu kencang. Matahari masih sayup-sayup mengintip diantara awan yang berjejer di angkasa. Cuaca yang sangat bagus untuk menantang dunia. Begitupula yang dilakukan seorang wanita paruh baya saat dirinya melihat mantan pengacaranya di depan minimarket. Dia menghampiri pengacara itu. Lewat pertemuan itu, sudah banyak terbayang beribu pertanyaan yang akan dia lontarkan. Dia sangat menunggu saat-saat ini dimana dia bisa duduk berdua menikmati indahnya sinar matahari sore lalu membicarakan tentang kebenaran.

Rose. Begitu pengacara itu memanggil nama wanita paruh baya yang duduk di hadapannya. Pengacara itu mengukir senyum dengan wajah yang kecut. Seakan dia takut berhadapan dengan mantan kliennya ini. Dibenarkannya letak duduknya sambil sesekali melihat keluar jendela kantornya. Sang pengacara ingat betul beberapa menit lalu dia masih di dalam minimarket dan tak percaya takdir membawa mereka ke tempat kerjanya.

“Kudengar putra anda akan bebas lusa ya?”

Dia mulai membuka percakapan dengan nada suara yang dibuat setenang mungkin.

“Kurasa anda tahu maksud kedatangan saya.” Kata Rose tersenyum lebih tenang.
“Maaf, maksud anda?”
“Delapan tahun yang lalu, pengacara. Saya tak pernah lupa. Ada yang anda sembunyikan dari kasus anak saya bukan?”

Di sudut kota kecil berdiri sebuah rumah yang tak kalah tua dengan kastil-kastil yang pernah ada di televisi. Rumah itu didiami satu keluarga kecil. Rose dan kedua anaknya yang bernama Viko dan Diana. Rumah itu adalah rumah peninggalan suami Rose sebelum beliau meninggal. Beberapa tahun yang lalu, rumah itu masih terlihat elegan. Tak seperti sekarang, tua dan bobrok. Segala yang indah dinikmati disana hingga akhirnya Rose membawa iblis berjubah malaikat di hadapan kedua anaknya. Ayah baru! Awalnya Viko dan Diana tak punya sesuatu yang tepat untuk menggambarkan ayah baru mereka. Sang ayah terlihat biasa saja. Mereka pikir sudah cukup puas melihat ibu mereka sangat menyanyangi ayah baru mereka. Bahkan kerutan di wajah sang ibu mulai menghilang akibat ditinggal ayah kandung mereka. Itu semua berkat Ramon. Yeah, itu nama ayah baru mereka. Saat itu Viko dan Diana ikut senang melihatnya. Tetapi seiring waktu berjalan, mereka mulai memahami bagaimana si malaikat berubah menjadi iblis.

“Dimana ibu kalian?” teriak Ramon dengan suara menggelegar.

Tetapi lidah Viko dan Diana kelu untuk menjawab pertanyaan sang ayah. Mereka terdiam ketakutan. Ramon yang malas mengulangi pertanyaannya langsung menarik tangan Viko dan menatapnya tajam tepat di hadapan kedua bola matanya. Nafasnya menguap berbau alkohol. Ayah dua orang anak ini tak pernah absen dari pesta mirasnya.

“Aku tidak tahu, Yah.” Jawab Viko ketakutan.

Ramon merasa tidak puas mendengar jawaban anaknya. Dilemparnya Viko ke arah yang penuh berisi peralatan dapur di sudut ruangan di sisi berlawanan tempat Diana meringkuk. Tempat itu menjadi berantakan. Peralatan dapur menjadi berserakan. Tak habis dengan bertingkah kasar, Ramon menendang Viko bertubi-tubi.

“Apa perlu Ayah mengulangi pertanyaan Ayah?!”
“Ampun, Ayah. Aku benar-benar nggak tahu”

Viko meronta-ronta kesakitan. Sedangkan Diana menangis terisak-isak dan semakin histeris melihat kakaknya diperlakukan seperti itu. Tetapi sang ayah tak henti menendang tubuh Viko dan terus berteriak. Terus dan terus seperti itu hingga membuat telinga sang adik hampir meledak. Diana yang tak tahan mendengar amukan sang ayah, dengan hati yang geram dan mata menangis, tangannya mengambil sebuah pisau dapur. Seperti telah tergoda dengan bisikan setan, Diana menancapkan pisau itu ke perut ayahnya. Dengan tatapan penuh tangisan, Diana memandang ayahnya yang kesakitan. Tangannya bergetar memegang pisau itu. Lalu dilepaskan pisau itu dari genggamannya. Diana mundur ketakutan. Ramon tersungkur lemah.

“Ayah.” Kata Viko terbata-bata.

Viko bangkit dengan tubuh kesakitan. Dia melongo untuk beberapa detik. Dirinya masih shock atas perbuatan yang dilakukan adiknya. Lalu cepat-cepat melepaskan pisau yang menancap di perut ayahnya. Dia tak tahu kenapa melakukan itu. Sementara itu, Rose membanting pintu dapur dan melihat Viko memegang pisau ditangannya, lalu memandang suaminya yang lemah tak berdaya. Sejenak Rose terdiam. Dia dirasuki percikan rasa takut walau Rose tahu jika kejadian ini dipicu oleh kemarahan Ramon yang memang sudah menjadi kebiasaannya. Setenang mungkin dia bergegas menggiring kedua anaknya menjauhi Ramon. Tetapi gerakan Rose kalah cepat dengan tangan Ramon yang masih mempunyai tenaga untuk memegang kaki Viko. Sang ibu bergegas meraba-raba sekelilingnya dan menemukan sebuah toples kecil. Dilemparkannya ke arah Ramon. Toples itu mengenai wajah Ramon dan terbuka. Keluar sebuah lebah dan langsung menyengat wajah Ramon.

“Bee!” Panggil Diana melihat hewan peliharaanya terbang bebas.

Ramon melepaskan genggaman tangannya dan langsung merintih kesakitan. Kesempatan ini Rose gunakan untuk lari dari iblis yang dia sebut sebagai suami.

Ada satu penyesalan untuk Rose karena tak bisa melindungi anaknya dari jeratan hukum. Dia yang mengira Viko sebagai pembunuh sang suami tak bisa berbuat apa-apa saat putranya itu menolak seorang pengacara untuk mencari pembenaran. Seorang pengacara yang disewa Rose dan sudah terlanjur menyelediki kasusnya. Tetapi Viko menolak itu di tengah jalan. Rose tak pernah tahu alasannya. Hingga akhirnya putra kesayangannya harus mendekam di penjara selama delapan tahun. Dia merasa geram pada sang pengacara karena ikut bungkam tentang alasan Viko. Dan pengacara itu kini ada di hadapannya.

“Bukan Viko yang membunuh suami anda.” Si pengacara membuka penjelasannya dengan hembusan nafas yang berat.
“Apa maksud anda?”
“Ada dua sidik jari yang membekas disana. Sidik jari Viko yang tertumpuk dengan sidik jari Diana, putri anda.”
“Diana? Maksud anda Diana yang membunuh Ramon?”

Pengacara itu membenarkan letak dasinya dan membuang nafas. Lalu diambilnya secangkir kopi yang sudah tersedia di mejanya. Dia meneguk kopi itu perlahan sambil mengatur nafasnya.

“Diana hanya menusuknya tetapi tidak membunuhnya.”
“Jelaskan saja, pengacara. Jangan bertele-tele.” Rose meninggikan suaranya.

Rose mulai tidak sabar dengan penjelasan pengacaranya yang membuatnya bingung.

“Coba anda pikir, bagaimana kekuatan anak berusia tujuh tahun saat menusuk orang dewasa? Tak akan menyentuh organ dalam. Dengan kata lain Ramon mati karena kehabisan darah.”

Rose merasa telah dicekoki ribuan tusukan jarum di hatinya. Dia mengambil langkah gontai setelah mendengar penjelasan pengacara itu. Air matanya meleleh seketika. Dia menangis menahan histeris. Ada banyak orang yang lalu lalang di depan kantor si pengacara. Tetapi air matanya tak bisa terbendung lagi. Dia meringkuk di sudut bangunan. Menangis sejadi-jadinya.

“Ada satu fakta lagi dalam kasus ini. Mungkin memang jarang terjadi, tetapi lain ceritanya jika Ramon mengidap alergi pada sengatan lebah dan mengalami anafilaksis. Saya menemukan venom (cairan sengat lebah) dari hasil otopsinya. Ini akan membuatnya sulit bergerak karena syok akibat sengatan lebah. Dia tidak bisa menyelamatkan diri dan akhirnya kehabisan darah.” Kata-kata si pengacara kembali terpotong karena lagi-lagi dia menarik nafasnya dengan berat.

Lalu dilanjutkannya lagi kata-katanya.

“Dan saya menemukan satu-satunya sidik jari dalam toples dimana banyak venom lebah di dalamnya. Itu adalah sidik jari anda, nyonya.“

Si pengacara memegang tangan Rose untuk menguatkan hatinya. Dia menggerakan bibirnya lagi dan berbicara selembut mungkin.

“Viko tak ingin saya mengungkap bahwa Diana lah yang menusuk ayahnya karena dia takut jika akhirnya semua akan terfokus pada anda.”

Pikiran Rose melayang kembali akan kelanjutan dari percakapannya dengan si pengacara. Air matanya menderu hebat saat mengingatnya kembali. Andai saja dia tahu semua ini lebih awal. Andai saja dia tidak memilih Ramon sebagai ayah bagi anak-anaknya atau andai saja dia tidak melempar lebah itu, semua ini tak akan terjadi. Anak kesayangannya tak akan menerima semua ini. Ya, andai saja. Tetapi semuanya telah terlambat. Hingga beberapa menit kemudian, pipinya masih dihujani air mata penuh penyesalan.

*anafilaksis = reaksi alergi yang cepat yang disertai syok pada 15 menit pertama setelah venom dikeluarkan dari kantungnya dan masuk ke dalam organ tubuh.

0 komentar:

Posting Komentar