Genre : Cinta
Aku membisu. Kemudian
membuang nafas berat. Pertanyaan Abbey membangkitkan memoriku tadi siang.
Memori tentang pertengkaran itu. Ku tatap bola mata Abbey yang melebar karena
penasaran. Kutarik nafasku. Berat. Binar matanya terus memenuhi kamera otakku.
Sangat serius dan tajam. Tiba-tiba dia memelukku. Merengkuh tubuhku dengan
kedua tangannya yang lembut. Kurasakan hangatnya kecemasan yang dia suntikkan di
seluruh tubuhku. Aku masih membisu. Menikmati nikmatnya luapan kasih sayangnya.
Tuhan benar-benar baik padaku. Dia mengirimkanku malaikat pelindung untuk
memberiku sebuah ketenangan di saat aku membutuhkannya.
Kira-kira awal kisahku
terjadi waktu aku kelas satu SMA. Aku ingat saat itu hari pertama Masa
Orientasi Siswa (MOS). Pagi itu, matahari enggan membangunkanku dari kecanduanku
dengan liburan panjang akhir sekolah. Aku lupa kalau hari itu adalah hari
pertamaku mengikuti ritual yang telah ditetapkan para senior.
“Ampun, apa pantas seorang
cewek memanjat pagar seperti itu?”
Tatapan mataku langsung
berlari pada suara itu. Seorang laki-laki yang mendadak muncul disampingku saat
kakiku baru saja berpijak pada halaman belakang sekolah. Seperti tikus yang bersembunyi
karena takut dengan taring-taring kucing yang akan mengoyak tubuhnya. Akupun
sama. Mencari tempat persembunyian di balik ganasnya senior yang bahkan akan
memenggal kepalaku terlebih dahulu jika mereka tahu aku datang terlambat.
“Ah iya, kenalkan...”
ujarnya terpotong.
“Aku tahu siapa anda,
nggak perlu kenalan!” bentakku tanpa sadar.
“Siapa?” tanya laki-laki
itu.
“Eh? Senior?” Aku menelan
ludah berat.
Bodohnya aku yang baru
tersadar. Aku menunduk pasrah dan mendadak bergidik ngeri membayangkan manusia
ini menjadikanku santapannya. Bahkan aku sempat membentaknya. Mungkin minggu
ini fotoku akan terpampang dalam headline
news di beberapa koran terkemuka yang menyatakan bahwa aku adalah junior
yang paling durhaka seantero negeri ini. Ayolah, aku pasti tak akan diampuni
oleh mahluk ini.
Mungkin sejak saat itu aku
tertarik dengan laki-laki ini. Lelaki yang telah menarik perhatianku dengan
tingkah menyebalkannya. Namanya Abbey. Aku akan ingat nama ini sampai cucuku
kelak memanggilku nenek. Lihat baik-baik! Ini adalah bagian terpenting dalam
masa sekolahku. Masa awal remaja yang kuhabiskan untuk mencari kesalahan
terbesarnya karena selalu membuatku merasa terganggu akan kehadirannya.
“Lagi-lagi kamu memanjat
pagar saat terlambat sekolah.”
Suara itu muncul lagi.
Kali ini tepat di belakangku.
“Karena ini bukan lagi
MOS, anda tidak bisa menghukum saya seperti waktu itu, atau anda mau melapor ke
guru?”
“Mungkin, kecuali kalau
kamu bersikap baik.”
“Hei, meskipun anda senior,
jangan kira saya akan patuh pada anda.”
“Kenapa bicaramu formal
banget. Kurasa ada sebutan lebih akrab dibanding menyebut anda. Misalnya kakak, bagaimana dengan kakak?”
Setelah melalui pemikiran
dengan perhitungan layaknya menghitung sebuah rumus fisika, jujur saja
sebenarnya aku tak menyukai mata pelajaran yang satu itu. Mata pelajaran yang bahkan
jika diibaratkan sebagai kucing persia pun tak akan mungkin membuatku jatuh
hati. Ayolah di dunia ini siapa yang suka fisika selain si jenius Albert
Einsten. Bahkan menurutku Albert Einsten pun tak sepenuhnya menyukai kucing
persia. Akhirnya aku memutuskan untuk mengikutinya. Mencoba mencari tahu apa
yang dia lakukan. Mencari setiap cacat yang akan dibuat olehnya nanti. Manusia
pasti mempunyai celah. Dia juga kan?
Semua tingkah lakunya
kuamati, dari bangun pagi sampai tidur malam. Tapi yang kudapat hanya seonggok
omong kosong. Aku sampai ragu untuk berpikir bahwa dia adalah manusia. Mungkin
sebenarnya dia adalah alien dari planet mars yang dikirim ke bumi untuk
menghancurkan bangsa manusia dan dia menyamar sebagai manusia. Aku sedang tidak
mengkhayal. Setidaknya seperti itulah yang kutonton di televisi.
Setiap hari di rumah dia hanya
membaca buku lalu belajar. Dia mempunyai banyak teman dan populer di kalangan
pelajar lainnya. Pergaulannya baik-baik saja. Tak ada cacat sedikitpun. Aku
mengejar dia hampir sebulan. Hobi, kebiasaan, kesukaan dan hubungan dengan
sesama, tidak ada yang tidak kuketahui. Entah sejak kapan aku menaruh perhatian
pada targetku. Coba pikir, menaruh perhatian pada seseorang dan terus
mengawasinya. Yang tak terlihat menjadi terlihat. Yang tak tahu menjadi tahu.
Yang tak muncul menjadi muncul. Maksudku muncul sebuah perasaan. Seperti hujan
gerimis yang tak sadar bahwa tanah telah basah olehnya. Perasaan ini juga sama.
Tanpa kusadari aku mulai menyukainya.
Ditengah desiran perasaan
ini, aku berhenti mengikutinya. Bukannya aku sudah menyerah akan dirinya tetapi
tiba-tiba ayah membawa berita yang entahlah aku harus menyebutnya berita gembira
atau menyedihkan. Dalam sebuah pembicaraan panjang lebar tentang rencana ayah
tentang masa depan keluargaku, aku terbelalak kaget.
“Apa? Ayah bilang Abbey
akan jadi kakak tiriku?” tanyaku tak percaya.
“Iya, kamu kenal Abbey?”
Aku terdiam. Ada sebuah
kenyataan yang tak bisa kuhindari. Perasaan itu dan kehendak ayah. Haruskah aku
seperti Raja Albert, bangsawan dari Portugal yang begitu membenci ayahnya
karena telah membunuh istrinya? Haruskah aku membenci ayah juga? Kurasa itu
terlalu berlebihan. Ayah hanya membunuh perasaan kecil ini. Semua orang tahu,
Raja Albert mempunyai perasaan yang begitu besar. Sesuatu yang konyol jika aku
memberontak untuk memperjuangkan perasaan yang baru tumbuh.
Dia yang saat ini
memelukku. Merengkuhku dengan kasih sayangnya. Dia yang kusebut sebagai
malaikat pelindung. Namanya Abbey. Dia kakakku.
0 komentar:
Posting Komentar