Jumat, 17 Desember 2021

Cerpen "Abbey" by Icha

0 komentar
Genre : Cinta

Aku membisu. Kemudian membuang nafas berat. Pertanyaan Abbey membangkitkan memoriku tadi siang. Memori tentang pertengkaran itu. Ku tatap bola mata Abbey yang melebar karena penasaran. Kutarik nafasku. Berat. Binar matanya terus memenuhi kamera otakku. Sangat serius dan tajam. Tiba-tiba dia memelukku. Merengkuh tubuhku dengan kedua tangannya yang lembut. Kurasakan hangatnya kecemasan yang dia suntikkan di seluruh tubuhku. Aku masih membisu. Menikmati nikmatnya luapan kasih sayangnya. Tuhan benar-benar baik padaku. Dia mengirimkanku malaikat pelindung untuk memberiku sebuah ketenangan di saat aku membutuhkannya.

Kira-kira awal kisahku terjadi waktu aku kelas satu SMA. Aku ingat saat itu hari pertama Masa Orientasi Siswa (MOS). Pagi itu, matahari enggan membangunkanku dari kecanduanku dengan liburan panjang akhir sekolah. Aku lupa kalau hari itu adalah hari pertamaku mengikuti ritual yang telah ditetapkan para senior.

“Ampun, apa pantas seorang cewek memanjat pagar seperti itu?”

Tatapan mataku langsung berlari pada suara itu. Seorang laki-laki yang mendadak muncul disampingku saat kakiku baru saja berpijak pada halaman belakang sekolah. Seperti tikus yang bersembunyi karena takut dengan taring-taring kucing yang akan mengoyak tubuhnya. Akupun sama. Mencari tempat persembunyian di balik ganasnya senior yang bahkan akan memenggal kepalaku terlebih dahulu jika mereka tahu aku datang terlambat.

“Ah iya, kenalkan...” ujarnya terpotong.
“Aku tahu siapa anda, nggak perlu kenalan!” bentakku tanpa sadar.
“Siapa?” tanya laki-laki itu.
“Eh? Senior?” Aku menelan ludah berat.

Bodohnya aku yang baru tersadar. Aku menunduk pasrah dan mendadak bergidik ngeri membayangkan manusia ini menjadikanku santapannya. Bahkan aku sempat membentaknya. Mungkin minggu ini fotoku akan terpampang dalam headline news di beberapa koran terkemuka yang menyatakan bahwa aku adalah junior yang paling durhaka seantero negeri ini. Ayolah, aku pasti tak akan diampuni oleh mahluk ini.

Mungkin sejak saat itu aku tertarik dengan laki-laki ini. Lelaki yang telah menarik perhatianku dengan tingkah menyebalkannya. Namanya Abbey. Aku akan ingat nama ini sampai cucuku kelak memanggilku nenek. Lihat baik-baik! Ini adalah bagian terpenting dalam masa sekolahku. Masa awal remaja yang kuhabiskan untuk mencari kesalahan terbesarnya karena selalu membuatku merasa terganggu akan kehadirannya.

“Lagi-lagi kamu memanjat pagar saat terlambat sekolah.”
Suara itu muncul lagi. Kali ini tepat di belakangku.
“Karena ini bukan lagi MOS, anda tidak bisa menghukum saya seperti waktu itu, atau anda mau melapor ke guru?”
“Mungkin, kecuali kalau kamu bersikap baik.”
“Hei, meskipun anda senior, jangan kira saya akan patuh pada anda.”
“Kenapa bicaramu formal banget. Kurasa ada sebutan lebih akrab dibanding menyebut anda. Misalnya kakak, bagaimana dengan kakak?”

Setelah melalui pemikiran dengan perhitungan layaknya menghitung sebuah rumus fisika, jujur saja sebenarnya aku tak menyukai mata pelajaran yang satu itu. Mata pelajaran yang bahkan jika diibaratkan sebagai kucing persia pun tak akan mungkin membuatku jatuh hati. Ayolah di dunia ini siapa yang suka fisika selain si jenius Albert Einsten. Bahkan menurutku Albert Einsten pun tak sepenuhnya menyukai kucing persia. Akhirnya aku memutuskan untuk mengikutinya. Mencoba mencari tahu apa yang dia lakukan. Mencari setiap cacat yang akan dibuat olehnya nanti. Manusia pasti mempunyai celah. Dia juga kan?

Semua tingkah lakunya kuamati, dari bangun pagi sampai tidur malam. Tapi yang kudapat hanya seonggok omong kosong. Aku sampai ragu untuk berpikir bahwa dia adalah manusia. Mungkin sebenarnya dia adalah alien dari planet mars yang dikirim ke bumi untuk menghancurkan bangsa manusia dan dia menyamar sebagai manusia. Aku sedang tidak mengkhayal. Setidaknya seperti itulah yang kutonton di televisi.

Setiap hari di rumah dia hanya membaca buku lalu belajar. Dia mempunyai banyak teman dan populer di kalangan pelajar lainnya. Pergaulannya baik-baik saja. Tak ada cacat sedikitpun. Aku mengejar dia hampir sebulan. Hobi, kebiasaan, kesukaan dan hubungan dengan sesama, tidak ada yang tidak kuketahui. Entah sejak kapan aku menaruh perhatian pada targetku. Coba pikir, menaruh perhatian pada seseorang dan terus mengawasinya. Yang tak terlihat menjadi terlihat. Yang tak tahu menjadi tahu. Yang tak muncul menjadi muncul. Maksudku muncul sebuah perasaan. Seperti hujan gerimis yang tak sadar bahwa tanah telah basah olehnya. Perasaan ini juga sama. Tanpa kusadari aku mulai menyukainya.

Ditengah desiran perasaan ini, aku berhenti mengikutinya. Bukannya aku sudah menyerah akan dirinya tetapi tiba-tiba ayah membawa berita yang entahlah aku harus menyebutnya berita gembira atau menyedihkan. Dalam sebuah pembicaraan panjang lebar tentang rencana ayah tentang masa depan keluargaku, aku terbelalak kaget.

“Apa? Ayah bilang Abbey akan jadi kakak tiriku?” tanyaku tak percaya.
“Iya, kamu kenal Abbey?”

Aku terdiam. Ada sebuah kenyataan yang tak bisa kuhindari. Perasaan itu dan kehendak ayah. Haruskah aku seperti Raja Albert, bangsawan dari Portugal yang begitu membenci ayahnya karena telah membunuh istrinya? Haruskah aku membenci ayah juga? Kurasa itu terlalu berlebihan. Ayah hanya membunuh perasaan kecil ini. Semua orang tahu, Raja Albert mempunyai perasaan yang begitu besar. Sesuatu yang konyol jika aku memberontak untuk memperjuangkan perasaan yang baru tumbuh.

Dia yang saat ini memelukku. Merengkuhku dengan kasih sayangnya. Dia yang kusebut sebagai malaikat pelindung. Namanya Abbey. Dia kakakku.

0 komentar:

Posting Komentar