Genre : Misteri
Sudah seminggu ini mataku selalu terpejamkan lewat dari jam tiga pagi. Aku sendiri entah tak bisa menemukan alasan imsomniaku yang terbilang mendadak ini. Tidak ada indikasi yang membuatku untuk tetap membuka mata. Kesibukanku juga tak bisa dibilang untuk terus terjaga. Wong aku Cuma anak kuliahan yang kerjaannya haha-hihi tak jelas. Lagipula tak ada yang kulakukan selain mendengarkan musik tiap kali kantuk tak mau mendekati. Ahh.. ada apa denganku? Tak pernah terjadi seperti ini sebelumnya.
Sudah seminggu ini mataku selalu terpejamkan lewat dari jam tiga pagi. Aku sendiri entah tak bisa menemukan alasan imsomniaku yang terbilang mendadak ini. Tidak ada indikasi yang membuatku untuk tetap membuka mata. Kesibukanku juga tak bisa dibilang untuk terus terjaga. Wong aku Cuma anak kuliahan yang kerjaannya haha-hihi tak jelas. Lagipula tak ada yang kulakukan selain mendengarkan musik tiap kali kantuk tak mau mendekati. Ahh.. ada apa denganku? Tak pernah terjadi seperti ini sebelumnya.
Malam ini.. bukan! Lebih tepatnya
pagi ini, aku masih terduduk manis di kasur menyelipkan earphone. Kabelnya
terhubung dengan handphone nokia tipe n70 milikku yang kudapatkan dari
pemberian cuma-cuma kakak perempuanku. Bukan termasuk handphone yang
menjadi tren tahun ini kurasa. Alunan musik berdentam keras di sudut telingaku.
Aku sengaja memutar lagu-lagu yang sedikit slow. Mungkin saja dengan
cara ini aku bisa mengundang rasa kantuk. Kubalut tubuhku dengan sehelai kain
selimut. Hangat juga dingin karena AC tetap kunyalakan. Lampu masih
kupersilahkan untuk tetap hidup. Kusandarkan tubuhku dekat tembok. Aku menatap
langit-langit kamar. Aku teringat kata seorang dokter yang kukunjungi tadi
sore.
Seorang laki-laki separuh baya
berpakaian putih mempersilahkanku duduk di meja kerjanya. Dia dokter yang akan
mencongkel imsomniaku. Kuharap berhasil.
Dokter itu memeriksa mataku dengan alat yang mirip senter atau benda itu
memanglah senter aku tak tahu. Lalu dia menyuruhku membuka mulut. Yang
kulakukan seperti dalam film-film, kurasa hampir mirip. Dokter itu menempelkan stetoskop
saat aku memasuki ruang praktinya. Aku sih menurut saja.
“Aku sakit apa, Dok?” kataku setelah
tahu dokter yang dihadapanku ini telah menyelesaikan ritualnya.
“Mungkin ini yang sakit.” Si dokter
mengetuk-ngetukkan dahinya sambil tersenyum.
“Maksud dokter aku sakit jiwa?”
“Hahaha... bukan begitu maksudku.
Banyak faktor penyebab insomnia. Jika kau tak mengkonsumsi kopi atau bahan
kafein lainnya. Dan lagi kau tak pernah tidur siang. Mungkin ada hal yang
mengganjal dalam pikiranmu. Coba selesaikanlah.”
Tapi apa? Sejauh ini hidupku
normal-normal saja. Tak ada gangguan yang mengusik pikranku. Keluarga, teman,
pacar semuanya menyapaku hangat. Aku juga bukan anak nakal yang setiap kali
bercita-cita membuat onar di lingkunganku. Aku seorang perempuan yang
biasa-biasa saja. Kegiatanku juga biasa saja. pergi ke mall, hunting
baju dan aksesorisnya sampai kartu kreditku jebol. Hey tapi jangan pikir aku
tak bisa membayar tagihannya. Di kampus walau IP-ku pas-pas-an aku tak pernah
menyesali takdirku sebagai pemilik otak yang pas-pas-an. Aku juga bukan korban
dari kasus keluarga broken home. Lalu apa yang salah denganku?
Ah aku ingat! Rasanya imsomniaku
muncul saat ayah pamit padaku untuk pergi keluar kota menyelesaikan urusan
pekerjaan. Sekitar seminggu lalu. Tepat! Tapi apa hubungannya dengan ayah?
Bukankah ayah sudah seringkali bolak-balik keluar kota untuk menghadiahkan
bosnya keberhasilan proyek perusahaannya. Ataukah aku rindu pada ayah sehingga
merasa gelisah tiap kali ingin tidur? Aku terus bertanya-tanya dalam hati.
Kusandarkan dahuku ke atas kedua lutut yang kutekuk.
Pagi ini kuhabiskan untuk menguras
pikiran otakku. Obat tidur yang diberikan oleh dokter sudah sejak tadi
kubiarkan tergeletak di atas meja di samping tempat tidurku. Aku belum ingin
meminumnya. Ahh.. tapi tak baik juga kalau aku terus-terusan tidur pagi.
Pikirankun langsung berubah. Ku raih segelas air putih dan obat tidur yang
memang telah kupersiapkan. Kutelan keduanya bersamanya. Hanya butuh waktu
beberapa menit kantuk mulai menggrogoti. Aku pun terlelap tidur.
Entah setan apa yang hinggap
dipikiranku. Aku tiba-tiba merengek ingin ikut hiking yang diadakan
organisasi pecinta alam di kampusku. Jaraknya cukup jauh mungkin harus makan
waktu sekitar lima jam menggunakan mobil box. Ini penampilan perdanaku sebagai
seorang pecinta alam. Ku sematkan ranselku di punggungku. Ku balut tubuhku dengan
jaket super tebal. Kuikat rambut ke atas agar tak terurai berantakan. Kupikir
tidak ada buruknya. Itung-itung untuk merefresh pikiranku. Syukur kalau
bisa menghilangkan imsomniaku.
Mataku terus mengikuti jejak langkah
orang-orang yang berbaris rapi didepanku. Mereka para senior yang lebih
berpengalaman dalam mendaki gunung. Katanya sih gitu. Ketika mereka memberikan
informasi cara dan larangan dalam mendaki gunung, aku tersenyum sambil manggut-manggut.
Padahal aku nggak ngeh dengan penjelasan mereka. Yang kuingat hanya
perkataan dari satu senior.
“Pokoknya jangan sampai terpisah dari
rombongan. Pastikan pikiran tidak kosong.” Teriak senior yang menurutku paling
cakep di antara semuanya.
Ok, lupakan soal itu. Aku masih fokus
dengan langkah kakiku. Menyelaraskan langkahku agar seirama dengan mereka.
Walau kuakui kakiku sudah merasa pegal bukan main. Maklumlah aku baru pertama
kali ini berjalan kaki ribuan meter. Aku coba untuk bertahan. Makin lama makin
terasa lelah tubuhku. Udara juga semakin dingin. Kabut tebal bertebangan di
depan mataku. Penghilatanku jadi sedikit kabur dengan kehadiran kabut ini. Aku
benar-benar tak sempat menikmati pemandangan indah ini karena saking capeknya.
Aku benar-benar lelah.
Saat aku menyibakkan dedaunan yang
menghalangi gerak langkahku, aku menemukan kosong pada barisan depanku. Barisan
yang tadinya diisi oleh para senior. Aku celingak-celinguk dengan mempertajam
mataku yang tak mau kalah dengan kabut yang semakin tebal. Aku menoleh ke
belakang. Juga tak kutemukan seorangpun yang tadinya mengikutiku. Hey dimana
mereka semua? Aku mulai panik. Kupercepat langkah kakiku sambil terus memasang
mata.
“Hoii... kalian dimana? Senior?
Jangan bercanda deh.” Teriakku dengan suara parau.
Aku mengambil handhope dalam
kantong jaketku. Ahh.. sial! Nggak ada sinyal sedikitpun. Keringat
dingin langsung mengucur hebat di keningku. Rasa panik melemahkan kesadaranku.
Semakin cepat aku mengayunkan kedua kakiku. Sesekali sedikit berlari sambil
terus menyebut nama para senior satu persatu. Tapi hasilnya nihil. Tak ada
tanda-tanda seorangpun yang melintas di dekatku. Aku menggigil ketakutan. Air
mataku ingin keluar. Aku ingin menangis. Aku benar-benar takut.
Bukk! Aku terjatuh tiba-tiba. Kakiku
tersandung oleh sesuatu. Aku celingukan panik mencari benda yang menyebabkanku
jatuh. Tanganku meraba-raba ke tanah. Kutemukan sesuatu yang menancap di tanah.
Penglihatanku semakin kufokuskan memandang benda itu. Sebuah kayu! Kayu panjang
yang tertancap di tanah. Jumlanya dua buah. Satu lagi berada di seberang sana.
Mungkin hanya berjarak sekitar dua meter. Lalu di antara kayu yang menancap itu
terdapat gundukan tanah. Hey ini seperti ...
“Huaaaaaa....” jeritku takut.
Aku langsung bangkit dan berlari
sekenanya. Rasa takutku makin parah. Kali ini dua kali lebih panik dari yang
tadi. Tapi tunggu! Rem kaki kutarik. Aku berhenti dan berbalik. Tubuhku kuputar
kembali lalu mataku menatap satu makam yang belum hilang dari sudut
pandanganku. Pelan aku mendekati makam itu dengan rasa takut. Tapi rasa
penasaranku lebih menang melawan ketakutanku. Coba bayangkan bukankah terlalu
aneh ada makam di tengah hutan begini? Aku semakin dekat dengan makam itu.
Sesampainya aku berjongkok. Ku genggam salah satu nisannya. Lalu mataku mencoba
mengeja deretan huruf yang tertulis di sana. Rinto Adhiwana. Nama yang tertulis
di nisan itu. Mataku terbelalak kaget. Pantatku seketika jatuh ke tanah. Kedua telapak
tanganku bertumpu menopang tanganku. Kuseret tubuhku menjauhi makam itu.
“Ayah? Ini Cuma mimpi kan? Iya, ini
Cuma mimpi.” aku menangis meraung-raung.
Tubuhku melonjak terduduk seketika di
atas tempat tidurku. Aku terbangun dari tidurku. Nafasku tersengal tak karuan.
Keringat menghujani keningku. Ku buang pandanganku mengelilingi sudut kamarku.
Sinar matahari mulai mengintip di balik korden kamar. Hari sudah pagi rupanya.
Dan ternyata kejadian itu cuma mimpi. Ku atur nafasku perlahan. Ku hembuskan
perlahan hingga pikiranku tenang. Lalu ku teguk air putih sisa dari tadi malam
yang kugunakan untuk meminum obat tidur.
“Cuma mimpi.” gumamku lega.
Baru sejenak aku menghembus nafas
lega, tiba-tiba terdengar pintu kamarku yang dibanting dengan keras. Bi inah,
salah satu pelayanku menghampiriku dengan garis wajah yang panik. Dia langsung
mendekatiku. Dia menatapku seolah ada hal yang ingin diberitahukan. Tapi
nafasnya masih belum teratur. Mungkin dia habis berlari tergesa-gesa menuju
kamarku ini.
“Ada apa bi?” tanyaku heran.
“Tuan, non. Tuan...”
“Iya, ayah kenapa?”
“beliau, beliau..”
“Kenapa? Ayah sudah pulang ya?”
“Tadi bibi dapat kabar dari bandara,
kalau pesawat yang ditumpangi tuan terjatuh dan sekarang saat ini tim SAR lagi
mencari para korban.”
Air mataku seketika meleleh dengan
mudah di mataku.
"Ayahhhh!!!!"
0 komentar:
Posting Komentar