Jumat, 17 Desember 2021

Cerpen "Insomnia" by Icha

0 komentar
Genre : Misteri

Sudah seminggu ini mataku selalu terpejamkan lewat dari jam tiga pagi. Aku sendiri entah tak bisa menemukan alasan imsomniaku yang terbilang mendadak ini. Tidak ada indikasi yang membuatku untuk tetap membuka mata. Kesibukanku juga tak bisa dibilang untuk terus terjaga. Wong aku Cuma anak kuliahan yang kerjaannya haha-hihi tak jelas. Lagipula tak ada yang kulakukan selain mendengarkan musik tiap kali kantuk tak mau mendekati. Ahh.. ada apa denganku? Tak pernah terjadi seperti ini sebelumnya.

Malam ini.. bukan! Lebih tepatnya pagi ini, aku masih terduduk manis di kasur menyelipkan earphone. Kabelnya terhubung dengan handphone nokia tipe n70 milikku yang kudapatkan dari pemberian cuma-cuma kakak perempuanku. Bukan termasuk handphone yang menjadi tren tahun ini kurasa. Alunan musik berdentam keras di sudut telingaku. Aku sengaja memutar lagu-lagu yang sedikit slow. Mungkin saja dengan cara ini aku bisa mengundang rasa kantuk. Kubalut tubuhku dengan sehelai kain selimut. Hangat juga dingin karena AC tetap kunyalakan. Lampu masih kupersilahkan untuk tetap hidup. Kusandarkan tubuhku dekat tembok. Aku menatap langit-langit kamar. Aku teringat kata seorang dokter yang kukunjungi tadi sore.

Seorang laki-laki separuh baya berpakaian putih mempersilahkanku duduk di meja kerjanya. Dia dokter yang akan mencongkel imsomniaku. Kuharap berhasil.  Dokter itu memeriksa mataku dengan alat yang mirip senter atau benda itu memanglah senter aku tak tahu. Lalu dia menyuruhku membuka mulut. Yang kulakukan seperti dalam film-film, kurasa hampir mirip. Dokter itu menempelkan stetoskop saat aku memasuki ruang praktinya. Aku sih menurut saja.

“Aku sakit apa, Dok?” kataku setelah tahu dokter yang dihadapanku ini telah menyelesaikan ritualnya.
“Mungkin ini yang sakit.” Si dokter mengetuk-ngetukkan dahinya sambil tersenyum.
“Maksud dokter aku sakit jiwa?”
“Hahaha... bukan begitu maksudku. Banyak faktor penyebab insomnia. Jika kau tak mengkonsumsi kopi atau bahan kafein lainnya. Dan lagi kau tak pernah tidur siang. Mungkin ada hal yang mengganjal dalam pikiranmu. Coba selesaikanlah.”

Tapi apa? Sejauh ini hidupku normal-normal saja. Tak ada gangguan yang mengusik pikranku. Keluarga, teman, pacar semuanya menyapaku hangat. Aku juga bukan anak nakal yang setiap kali bercita-cita membuat onar di lingkunganku. Aku seorang perempuan yang biasa-biasa saja. Kegiatanku juga biasa saja. pergi ke mall, hunting baju dan aksesorisnya sampai kartu kreditku jebol. Hey tapi jangan pikir aku tak bisa membayar tagihannya. Di kampus walau IP-ku pas-pas-an aku tak pernah menyesali takdirku sebagai pemilik otak yang pas-pas-an. Aku juga bukan korban dari kasus keluarga broken home. Lalu apa yang salah denganku?

Ah aku ingat! Rasanya imsomniaku muncul saat ayah pamit padaku untuk pergi keluar kota menyelesaikan urusan pekerjaan. Sekitar seminggu lalu. Tepat! Tapi apa hubungannya dengan ayah? Bukankah ayah sudah seringkali bolak-balik keluar kota untuk menghadiahkan bosnya keberhasilan proyek perusahaannya. Ataukah aku rindu pada ayah sehingga merasa gelisah tiap kali ingin tidur? Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Kusandarkan dahuku ke atas kedua lutut yang kutekuk.

Pagi ini kuhabiskan untuk menguras pikiran otakku. Obat tidur yang diberikan oleh dokter sudah sejak tadi kubiarkan tergeletak di atas meja di samping tempat tidurku. Aku belum ingin meminumnya. Ahh.. tapi tak baik juga kalau aku terus-terusan tidur pagi. Pikirankun langsung berubah. Ku raih segelas air putih dan obat tidur yang memang telah kupersiapkan. Kutelan keduanya bersamanya. Hanya butuh waktu beberapa menit kantuk mulai menggrogoti. Aku pun terlelap tidur.

Entah setan apa yang hinggap dipikiranku. Aku tiba-tiba merengek ingin ikut hiking yang diadakan organisasi pecinta alam di kampusku. Jaraknya cukup jauh mungkin harus makan waktu sekitar lima jam menggunakan mobil box. Ini penampilan perdanaku sebagai seorang pecinta alam. Ku sematkan ranselku di punggungku. Ku balut tubuhku dengan jaket super tebal. Kuikat rambut ke atas agar tak terurai berantakan. Kupikir tidak ada buruknya. Itung-itung untuk merefresh pikiranku. Syukur kalau bisa menghilangkan imsomniaku.

Mataku terus mengikuti jejak langkah orang-orang yang berbaris rapi didepanku. Mereka para senior yang lebih berpengalaman dalam mendaki gunung. Katanya sih gitu. Ketika mereka memberikan informasi cara dan larangan dalam mendaki gunung, aku tersenyum sambil manggut-manggut. Padahal aku nggak ngeh dengan penjelasan mereka. Yang kuingat hanya perkataan dari satu senior.

“Pokoknya jangan sampai terpisah dari rombongan. Pastikan pikiran tidak kosong.” Teriak senior yang menurutku paling cakep di antara semuanya.

Ok, lupakan soal itu. Aku masih fokus dengan langkah kakiku. Menyelaraskan langkahku agar seirama dengan mereka. Walau kuakui kakiku sudah merasa pegal bukan main. Maklumlah aku baru pertama kali ini berjalan kaki ribuan meter. Aku coba untuk bertahan. Makin lama makin terasa lelah tubuhku. Udara juga semakin dingin. Kabut tebal bertebangan di depan mataku. Penghilatanku jadi sedikit kabur dengan kehadiran kabut ini. Aku benar-benar tak sempat menikmati pemandangan indah ini karena saking capeknya. Aku benar-benar lelah.

Saat aku menyibakkan dedaunan yang menghalangi gerak langkahku, aku menemukan kosong pada barisan depanku. Barisan yang tadinya diisi oleh para senior. Aku celingak-celinguk dengan mempertajam mataku yang tak mau kalah dengan kabut yang semakin tebal. Aku menoleh ke belakang. Juga tak kutemukan seorangpun yang tadinya mengikutiku. Hey dimana mereka semua? Aku mulai panik. Kupercepat langkah kakiku sambil terus memasang mata.

“Hoii... kalian dimana? Senior? Jangan bercanda deh.” Teriakku dengan suara parau.

Aku mengambil handhope dalam kantong jaketku. Ahh.. sial! Nggak ada sinyal sedikitpun. Keringat dingin langsung mengucur hebat di keningku. Rasa panik melemahkan kesadaranku. Semakin cepat aku mengayunkan kedua kakiku. Sesekali sedikit berlari sambil terus menyebut nama para senior satu persatu. Tapi hasilnya nihil. Tak ada tanda-tanda seorangpun yang melintas di dekatku. Aku menggigil ketakutan. Air mataku ingin keluar. Aku ingin menangis. Aku benar-benar takut.
Bukk! Aku terjatuh tiba-tiba. Kakiku tersandung oleh sesuatu. Aku celingukan panik mencari benda yang menyebabkanku jatuh. Tanganku meraba-raba ke tanah. Kutemukan sesuatu yang menancap di tanah. Penglihatanku semakin kufokuskan memandang benda itu. Sebuah kayu! Kayu panjang yang tertancap di tanah. Jumlanya dua buah. Satu lagi berada di seberang sana. Mungkin hanya berjarak sekitar dua meter. Lalu di antara kayu yang menancap itu terdapat gundukan tanah. Hey ini seperti ...

“Huaaaaaa....” jeritku takut.

Aku langsung bangkit dan berlari sekenanya. Rasa takutku makin parah. Kali ini dua kali lebih panik dari yang tadi. Tapi tunggu! Rem kaki kutarik. Aku berhenti dan berbalik. Tubuhku kuputar kembali lalu mataku menatap satu makam yang belum hilang dari sudut pandanganku. Pelan aku mendekati makam itu dengan rasa takut. Tapi rasa penasaranku lebih menang melawan ketakutanku. Coba bayangkan bukankah terlalu aneh ada makam di tengah hutan begini? Aku semakin dekat dengan makam itu. Sesampainya aku berjongkok. Ku genggam salah satu nisannya. Lalu mataku mencoba mengeja deretan huruf yang tertulis di sana. Rinto Adhiwana. Nama yang tertulis di nisan itu. Mataku terbelalak kaget. Pantatku seketika jatuh ke tanah. Kedua telapak tanganku bertumpu menopang tanganku. Kuseret tubuhku menjauhi makam itu.

“Ayah? Ini Cuma mimpi kan? Iya, ini Cuma mimpi.” aku menangis meraung-raung.

Tubuhku melonjak terduduk seketika di atas tempat tidurku. Aku terbangun dari tidurku. Nafasku tersengal tak karuan. Keringat menghujani keningku. Ku buang pandanganku mengelilingi sudut kamarku. Sinar matahari mulai mengintip di balik korden kamar. Hari sudah pagi rupanya. Dan ternyata kejadian itu cuma mimpi. Ku atur nafasku perlahan. Ku hembuskan perlahan hingga pikiranku tenang. Lalu ku teguk air putih sisa dari tadi malam yang kugunakan untuk meminum obat tidur.

“Cuma mimpi.” gumamku lega.

Baru sejenak aku menghembus nafas lega, tiba-tiba terdengar pintu kamarku yang dibanting dengan keras. Bi inah, salah satu pelayanku menghampiriku dengan garis wajah yang panik. Dia langsung mendekatiku. Dia menatapku seolah ada hal yang ingin diberitahukan. Tapi nafasnya masih belum teratur. Mungkin dia habis berlari tergesa-gesa menuju kamarku ini.

“Ada apa bi?” tanyaku heran.
“Tuan, non. Tuan...”
“Iya, ayah kenapa?”
“beliau, beliau..”
“Kenapa? Ayah sudah pulang ya?”
“Tadi bibi dapat kabar dari bandara, kalau pesawat yang ditumpangi tuan terjatuh dan sekarang saat ini tim SAR lagi mencari para korban.”

Air mataku seketika meleleh dengan mudah di mataku.

"Ayahhhh!!!!"



0 komentar:

Posting Komentar