Jumat, 17 Desember 2021

Cerpen "Masih" by Icha

0 komentar
Genre : Cinta, Melodrama

Bergegas aku mengikatkan tali sepatu ketsku berwarna coklat tua. Ku sempatkan mengintip  jarum jam yang berdetak lirih di dinding kamarku. Masih jam 07.00. Masih terlalu pagi untuk berangkat ke kampus, tapi aku sudah dibuat kerepotan oleh tuntutan Mario yang mewajibkan aku mengikuti caranya yang tepat waktu. Ah tidak. Mungkin lebih tepatnya datang lebih awal agar kami punya waktu lebih banyak mengobrol. Dan kalau tidak dituruti maka aku akan dapat masalah besar. Jurus ngambeknya bakal keluar. Dering SMS-ku berbunyi. Ku sambar handphoneku secepat kilat di atas meja belajar kamarku. Tampang sebel langsung kupasang ketika membaca SMS dari Mario.
            
“Iya, iya bawel. Ini juga udah mau berangkat!” gerutuku kesal.
            
Ku alihkan pandanganku sejenak ke arah kalender yang terletak di atas meja dekat kamar tidurku. Aku memandang kosong padanya. Tepat dua bulan aku putus dengan Dhika. Aku menghela nafas. Kemudian diam sejenak. Lalu secepat kilat mengambil motorku di garasi dan segera meluncur ke kampus.
            
Aku punya sebuah kisah cinta. Kisah cinta yang tak berakhir bahagia bak cinderela dan pangeran tapi juga bukan kisah yang setragis romeo and juliet. Ini Cuma kisahku antara aku dan Mario serta orang yang berjajar di dekat kami. Kami adalah teman dekat. Sebenarnya tak ada kata resmi bahwa kami adalah teman dekat. Dia adalah mantan kekasihku sebelum Dhika. Sejak aku putus dengan Dhika, dia terus menemaniku. Mendengarkan semua kekecawaanku yang disebabkan monster berjubah malaikat bernama Dhika yang lebih memilih cewek lain. Dia selalu baik padaku. Dan aku tahu bentuk kebaikannya itu tak bisa dikatakan dengan sebutan simpati dari seorang “mantan kekasih”. Aku sempat berpikir kalau proses kedekatanku dengannya bisa dibilang CLBK (Cinta Lama Belum Kelar). Benar atau salah aku sendiri tak tahu.
            
“Hey, ngomong-ngomong udah berapa lama kamu putus sama Risma?” tanyaku pada Mario.
            
Aku mencomot sandwitch yang diletakkan Mario di atas bangku taman kampus.
            
“Baru datang udah nanya gitu.” Jawabnya sambil menarik kantung kertas yang tadinya berisi sabdwitch. Dia melongok isinya. “Udah gitu sandwitchku dirampok juga.”
"Sorry, aku belum sarapan hehe...” Sahutku dengan lafal pengucapan yang berantakan karena mulutku terisi penuh potongan sandwitch miliknya.
"Berapa ya.. kayaknya nggak lama sebelum kamu putus sama Dhika. Lima bulan mungkin. Kenapa? Masih kangen ya sama Dhika?”
“Ih... amit-amit!” Pekikku spontan.
            
Bisa dibilang karena sama-sama patah hati, kami jadi punya alasan untuk dekat. Walaupun sebelum terjadinya insiden patah hati, kami tetap menjadi teman dekat. Hanya saja waktu itu kami sudah punya prioritas soal hati masing-masing. Dan walau tak ada rencana untuk lagi menjadi seperti sekarang ini, tapi aku yakin dia juga berpikir kalau semua ini memang akan terjadi. Layaknya sepasang merpati yang menemukan rumah kami yang dulu pernah diambil oleh merpati lain. Kami akhirnya bertemu di persimpangan jalan dan memutuskan untuk memlih jalan yang sama.
            
Handphone milik Mario menyala dan bergetar. Kurasa ada SMS yang masuk. Aku dan Mario sama-sama melirik ke sumber getaran itu. Tanpa basa-basi Mario membaca isi SMS-nya. Raut mukanya tak berubah. Kurasa bukan SMS yang bisa dikatakan penting. Tapi aku masih saja penasaran dengan si pengirim SMS. Aku menatap Mario dengan seksama. Dia yang menyadarinya membalas tatapanku dan mulai menggerakkan bibirnya.

“Dari Risma.“ Katanya yang seketika meruntuhkan tanda tanya dalam otakku.
“Aku cemburu lho...” Sahutku sambil nyengir kuda.
“Jangan kira udah dapat maafku terus kita bisa pacaran lagi.”

Aku berdiri membelakangi tubuh Mario yang terduduk manis di bangku taman. Kurasakan aliran darahku mulai memanas. Kutatap langit biru untuk mendinginkan lagi aliran darahku. Ku bentangkan kelima jari tanganku pada sang mega biru. Seolah aku ingin menggapai langit biru itu. Aku tahu tak akan pernah bisa aku menggapainya. Aku juga tahu seperti halnya hati Mario yang tak pernah bisa kugapai walau dalam hatiku selalu berbisik aku tak akan lagi mengulangi kesalahan yang sama.
             
“Aku tahu, aku tahu. Aku juga takut pacaran lagi sama kamu, tahu!”
“Hey, hey, yang jadi korbannya kan aku.”

Aku menoleh ke arahnya sambil mengukir senyum tipis.

“Takut melukai hatimu lagi.”
            
Mario terdiam. Suasana mati. Luka yang kupatri di sudut hati Mario tak akan pernah sembuh walau sekeras apapun aku memperbaikinya. Tapi setidaknya aku lega dia tak mencaci dan menghujatku dengan kebencian. Dia malah menyambutku dengan senyuman hangatnya. Karena aku tahu di sudut hatinya yang paling kecil selalu ada tempat untukku. Dia memaafkanku walau butuh waktu yang lama. Hingga sampai pada saat sekarang. Dia memerintahkan dirinya sendiri untuk menekan rasanya agar tidak tumbuh. Agar dia tidak lagi merasakan perih karenaku. Aku sangat memahami itu. Mungkin semacam karma yang terbentuk melalui si monster Dhika. Tidak. Aku pun sama seperti Dhika. Monster bagi Mario. Berkat Dhika, aku tahu rasanya dikhianati. Berkatnya aku mengerti isi hati Mario atas perbuatan yang kubuat padanya.
            
Mario masih terduduk. Dia menangkap tangan kananku dengan kedua tangannnya. Dia menggenggam tanganku lembut. Aku masih dalam posisiku. Masih membelakangi tubuhnya tanpa berani menoleh. Tangan yang tadi mencengkram langit kini kuturunkan. Pandanganku beralih lurus ke depan. Menatap kosong bangunan kampus yang masih sepi.
            
“Maaf dariku bukti kalau aku nggak benci kamu.” Jelasnya singkat. Dia terdiam lagi beberapa detik, lalu melanjutkan kata-katanya. “Tetaplah bersamaku walau serumit apapun hubungan kita.”

Seperti yang kubilang tadi. Kisah ini tak berakhir bahagia, atau mungkin ini belum menjadi akhir dari kisahku antara Mario dan aku. Rasa kami sama. Tapi kami tak bisa mempatenkan rasa ini menjadi hubungan yang lebih jelas. Rasa yang tak bisa memiliki masing-masing di antara kami dengan utuh. Ada dinding pembatas yang tak bisa kulampaui. Dinding yang dibangun oleh Mario dengan kokohnya. Rasa yang tersisa ini hanya mampu menunggu di balik dinding sambil sesekali dirasuki ketakutan melakukan kesalahan yang sama. Pada akhirnya kami hanya mampu menciptakan kisah yang tak ada akhir yang jelas. Kisah yang menggantung. Kisah yang tak tau sampai kapan akan berakhir. Entah itu akhir yang bahagia atau akhir yang menyakitkan. Aku pun tak tahu itu.

0 komentar:

Posting Komentar